Legislator DPR Ingatkan Selamatkan Industri Tekstil Nasional

Sektor tekstil nasional saat ini menghadapi tantangan serius. Banyak pelaku usaha kesulitan bersaing akibat kenaikan bahan baku dan persaingan global. Dampaknya, ribuan tenaga kerja terancam kehilangan mata pencaharian.
Novita Hardini, anggota Komisi VII DPR RI, menekankan pentingnya intervensi pemerintah. Kunjungan kerja ke STTT Bandung menjadi langkah awal untuk memahami akar masalah. Kolaborasi antara pemangku kepentingan dinilai krusial.
Jika tidak ditangani, krisis ini berpotensi melemahkan perekonomian. Upaya penyelamatan harus melibatkan kebijakan strategis dan dukungan teknologi.
Peringatan Legislator DPR untuk Industri Tekstil Nasional
Kondisi sektor ini semakin memprihatinkan. Banyak pabrik terancam gulung tikar karena tekanan impor dan biaya produksi yang tinggi. Jika tidak ada langkah cepat, ribuan lapangan kerja bisa hilang.
Pernyataan Novita Hardini dari Komisi VII DPR RI
Novita Hardini, anggota komisi VII DPR RI, menyampaikan keprihatinan mendalam.
“Kita tidak boleh membiarkan bangsa ini dijajah kembali lewat sektor tekstil,”
tegasnya.
Pernyataan ini muncul menyusul data BPS 2024 yang mencatat impor dari China mencapai 2,19 juta ton. Nilainya setara dengan 8,94 miliar USD.
Dampak Kelambanan pada Tenaga Kerja dan Industri
Beberapa dampak serius yang mengancam:
- Lebih dari 1.000 pekerja terancam kehilangan mata pencaharian
- 5 pabrik besar di Jawa Barat sudah mengurangi produksi
- Nilai ekspor industri negeri turun 12% dalam setahun terakhir
Tanpa kebijakan protektif, ancaman ini bisa berdampak sistemik. Tidak hanya pada sektor manufaktur, tapi juga perekonomian secara keseluruhan.
Tantangan Industri Tekstil Nasional
Harga bahan baku yang melambung menjadi momok bagi pengusaha lokal. Di sisi lain, daya saing produk impor semakin menggerus pasar. Ditambah lagi, pengelolaan sisa produksi masih sering diabaikan.
Tingginya Biaya Produksi dan Bahan Baku
Dalam 3 tahun terakhir, biaya produksi melonjak hingga 25%. Faktanya, 60% bahan baku masih didatangkan dari luar negeri. Hal ini membuat harga produk akhir sulit bersaing.
Seorang pemilik pabrik di Jawa Tengah mengeluh:
“Kami harus menaikkan harga jual, tapi konsumen beralih ke produk impor yang lebih murah.”
Derasnya Arus Impor Tekstil
Barang dari luar negeri, terutama yang ilegal, membanjiri pasar. Produk ini dijual dengan harga sangat rendah karena tidak terkena bea masuk.
Akibatnya, usaha kecil menengah kesulitan bertahan. Padahal, sektor hulu hingga hilir bisa menyerap jutaan tenaga kerja.
Minimnya Pengelolaan Limbah
Di daerah penghasil kain seperti Bandung, limbah cair sering dibuang tanpa pengolahan. Ini mencemari sungai dan merusak lingkungan sekitar.
Pelaku usaha mengaku kesulitan membangun instalasi pengolahan. Biayanya mencapai ratusan juta rupiah, terlalu besar untuk UKM.
Kunjungan Kerja Komisi VII DPR ke STTT Bandung
STTT Bandung menjadi fokus kunjungan kerja Komisi VII DPR dalam upaya memahami tantangan di lapangan. Kunjungan pada 21 Juli 2025 ini bertujuan menjembatani kebutuhan dunia pendidikan dengan pasar tenaga kerja.
Tujuan dan Temuan Kunjungan
Hasil kunjungan menunjukkan 70% lulusan STTT langsung terserap di industri. Namun, kurikulum perlu diperkuat untuk menjawab tren hijau dan digitalisasi.
Novita Hardini, anggota komisi, menekankan:
“Peningkatan anggaran pendidikan vokasi 30% harus jadi prioritas. Ini investasi untuk masa depan tekstil nasional.”
Sorotan pada Data Impor BPS 2024
Data BPS 2024 menjadi bahan diskusi panas. Impor tekstil China yang mencapai 2,19 juta ton dinilai mengancam daya saing lokal.
STTT merespons dengan rencana kolaborasi bersama Kemenperin, termasuk:
- Pengembangan laboratorium pengolahan limbah
- Pelatihan berbasis industri hijau
- Penyesuaian kurikulum sesuai kebutuhan pasar
Seorang mahasiswa menyatakan, *”Kami butuh praktik langsung di pabrik untuk memahami tantangan nyata.”*
Industri Hijau sebagai Solusi Berkelanjutan
Transformasi menuju praktik berkelanjutan mulai digencarkan di berbagai lini produksi. Sayangnya, hanya 35% pelaku usaha yang sudah menerapkan prinsip industri hijau. Padahal, langkah ini bisa mengurangi dampak lingkungan sekaligus meningkatkan daya saing.
Proporsi Industri Hijau yang Masih Rendah
Data terbaru menunjukkan Indonesia tertinggal dari Malaysia yang sudah mencapai 55%. Beberapa faktor penyebabnya:
- Biaya awal teknologi ramah lingkungan yang tinggi
- Kurangnya insentif dari pemerintah
- Edukasi terbatas tentang manfaat jangka panjang
Investasi Pengolahan Limbah dari Hulu ke Hilir
Sektor hilir membutuhkan investasi sekitar Rp 2,3 triliun untuk pengolahan limbah. Teknologi seperti RAMED bisa memfilter 90% polutan cair. Namun, adopsinya masih terhambat regulasi.
Aspek | Indonesia | Malaysia |
---|---|---|
Insentif Pajak Hijau | 10-15% | 25-30% |
Anggaran Pendidikan Lingkungan | Rp 120 miliar | Rp 400 miliar |
Kolaborasi dengan startup cleantech mulai digalakkan. Program sertifikasi dari Kemenperin juga membantu pelaku usaha memenuhi standar global.
Peran Pemerintah dalam Penyelesaian Masalah
Upaya penyelesaian masalah membutuhkan kolaborasi antara pemangku kebijakan dan pelaku usaha. Tanpa perhatian serius dari pemerintah, tantangan seperti biaya produksi dan impor ilegal akan semakin sulit diatasi.
Perlunya Izin dan Insentif untuk Daerah
Mekanisme perizinan terpadu online diharapkan mempermudah proses usaha. Contoh sukses ada di Kabupaten Sukoharjo, di mana klaster industri tumbuh pesat berkat kemudahan izin dan insentif lokal.
Rencana kebijakan fiskal 2026 juga akan memberi keringanan pajak bagi pelaku usaha yang berinvestasi di teknologi ramah lingkungan. Program matching fund pemerintah-swasta sudah disiapkan untuk mendukung hal ini.
Sertifikasi Hijau dan Dukungan Teknologi
Target 500 sertifikasi hijau hingga 2026 menjadi prioritas. Pelatihan teknologi 4.0 untuk UMKM juga digalakkan agar produk lokal bisa bersaing di pasar global.
Jenis Dukungan | 2025 | Target 2026 |
---|---|---|
Insentif Pajak Hijau | 10% | 20% |
Pelatihan Teknologi | 1.000 peserta | 5.000 peserta |
Dengan langkah ini, industri negeri diharapkan bisa bangkit dan menciptakan lebih banyak lapangan kerja berkualitas.
Impor Ilegal dan Ancaman bagi Industri Lokal
Maraknya barang impor ilegal menjadi ancaman serius bagi pelaku usaha lokal. Data Asosiasi Pertekstilan menyebut 40% produk tekstim impor diduga tidak memenuhi ketentuan. Dampaknya, harga pasar menjadi tidak sehat dan pabrik dalam negeri kesulitan bersaing.
Pernyataan Mohamad Hekal dari Komisi XI DPR
Mohamad Hekal, anggota Komisi DPR XI, menegaskan pentingnya tindakan tegas:
“Penyelundupan tekstil merugikan negara hingga triliunan rupiah. Kita butuh regulasi yang lebih ketat.”
Ia merujuk pada 152 kasus yang terungkap sepanjang 2024, termasuk penggerebekan gudang di Cikarang. Barang sitaan mencapai 500 ton dengan nilai Rp 200 miliar.
Pentingnya Pengawasan Bea Cukai
Teknologi X-ray scanning di pelabuhan utama menjadi solusi. Kerja sama Bea Cukai-Kemenperin juga ditingkatkan untuk memantau:
- Dokumen impor yang tidak lengkap
- Selisih antara deklarasi dan barang fisik
- Peredaran produk tanpa label SNI
Dengan pengawasan lebih ketat, diharapkan pasar bisa lebih adil bagi pabrik lokal.
Sinergi Antar-Kementerian untuk Kebijakan Impor
Kolaborasi antar-kementerian menjadi kunci untuk mengatasi tantangan di sektor tekstil. Kemenperin dan Kemdag telah menandatangani Nota Kesepahaman No. 120/2025 sebagai langkah konkret. Ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam menciptakan iklim usaha yang lebih sehat.
Kolaborasi Kemenperin dan Kemdag
Kerja sama ini fokus pada tiga aspek utama:
- Penyesuaian kuota impor yang turun 15% untuk 2026
- Pengawasan ketat terhadap barang masuk di pelabuhan
- Penyederhanaan regulasi untuk pelaku usaha lokal
Seperti dijelaskan dalam dokumen resmi, beberapa perusahaan garmen sudah mulai melakukan diversifikasi produk. Langkah ini bisa menjadi contoh bagi pelaku usaha lain.
Kebijakan yang Berpihak pada Pelaku Lokal
Pemerintah menyiapkan paket kebijakan komprehensif:
Jenis Kebijakan | Target 2025 | Target 2026 |
---|---|---|
Tarif Impor Progresif | Analisis dampak | Implementasi penuh |
Substitusi Bahan Baku | Pilot project | 30% kebutuhan lokal |
Penguatan Serat Lokal | Studi kelayakan | Produksi massal |
Program ini diharapkan bisa mengurangi ketergantungan pada bahan baku impor. Dengan begitu, harga produk akhir bisa lebih kompetitif di pasar global.
Gugus tugas lintas kementerian juga dibentuk untuk memastikan implementasi berjalan lancar. Mereka akan memantau perkembangan dan mengevaluasi dampak kebijakan secara berkala.
Kebutuhan SDM Unggul di Sektor Tekstil
Kualitas SDM menjadi kunci utama dalam menghadapi persaingan global. Tanpa tenaga kerja terampil, transformasi menuju industri hijau akan sulit tercapai. Pendidikan vokasi seperti STTT Bandung menjadi solusi strategis.
Revitalisasi Pendidikan Vokasi
STTT Bandung menunjukkan hasil nyata dengan 85% lulusan terserap industri dalam 6 bulan. Kurikulum mereka kini mencakup 40% materi keberlanjutan. Beberapa inisiatif unggulan:
- Program magang bersubsidi pemerintah untuk 1.000 peserta/tahun
- Kolaborasi dengan Politeknik STTT Bandung dalam pelatihan digital printing
- Sertifikasi BNSP untuk menjamin kompetensi lulusan
Penyiapan Tenaga Kerja Berbasis Industri Hijau
Permintaan akan pekerja yang memahami teknologi ramah lingkungan terus meningkat. Perusahaan tekstil besar mulai menawarkan beasiswa ikatan dinas. Tujuannya, menciptakan bibit unggul yang siap bekerja.
Program | Target 2025 | Dampak |
---|---|---|
Pelatihan Pengolahan Limbah | 500 pekerja | Pengurangan polusi 30% |
Sertifikasi Hijau | 200 peserta | Penyerapan kerja 95% |
Upaya ini sekaligus memperkuat perlindungan pekerja melalui peningkatan keterampilan. Dengan begitu, lapangan kerja tetap tersedia meski tantangan semakin kompleks.
Informasi terbaru (berita terkini) menunjukkan minat generasi muda terhadap pendidikan vokasi meningkat 25%. Ini menjadi angin segar bagi masa depan sektor ini.
Dampak Krisis Energi Global pada Industri Tekstil
Kenaikan harga energi global memberi tekanan besar pada sektor manufaktur, termasuk tekstil. Sejak 2023, biaya gas industri melonjak 40%, memicu lonjakan biaya produksi. Pelaku usaha kesulitan menyeimbangkan keuntungan dengan daya saing pasar.
Tekanan pada Sektor Manufaktur Nasional
Perang Ukraina memperparah pasokan energi dunia. Di Kudus, sebuah pabrik tekstil beralih ke solar panel untuk menghemat 15% biaya operasional. Pemiliknya mengaku:
“Dengan harga gas saat ini, kami harus kreatif atau gulung tikar.”
Beberapa tantangan utama:
- Harga gas industri naik Rp 1.200 per kg.
- Pasokan listrik tidak stabil di daerah sentra produksi.
- Biaya logistik meningkat akibat kenaikan BBM.
Percepatan Transisi ke Industri Hijau
Pemerintah mendorong konversi ke energi terbarukan melalui skema KUR. Investasi teknologi hijau seperti solar panel dan biomass boiler mulai dilirik. Program ini menargetkan penghematan energi hingga 30% dalam 3 tahun.
Beberapa langkah konkret:
- Pelatihan penggunaan alat hemat energi untuk UMKM.
- Insentif pajak untuk pabrik yang mengurangi emisi karbon.
- Kolaborasi dengan penyedia teknologi ramah lingkungan.
Dengan transisi ini, tekstil nasional diharapkan bisa lebih kompetitif dan berkelanjutan.
Komitmen DPR untuk Transformasi Industri
Upaya memperkuat sektor manufaktur terus digalakkan melalui kerja sama legislatif dan eksekutif. RUU Penguatan Industri Nasional masuk dalam prolegnas 2025 sebagai langkah strategis. Anggaran Rp 1,2 triliun disiapkan khusus untuk percepatan transformasi.
Dukungan Legislatif dan Eksekutif
Pemerintah dan DPR menyepakati tiga program utama:
- Penyusunan RUU Industri Hijau dengan target selesai Q3 2025
- Pendampingan hukum gratis untuk 500 UMKM tekstil
- Pembentukan dewan tekstil berkelanjutan tingkat nasional
Seperti diungkapkan salah satu anggota komisi:
“Kolaborasi ini bukti keseriusan kami menciptakan iklim usaha yang lebih kompetitif.”
Menuju Industri Hijau yang Kompetitif
Kerja sama dengan Global Green Growth Institute (GGGI) menghasilkan beberapa capaian:
Inisiatif | Target 2025 | Progress |
---|---|---|
Pelatihan Teknologi Hijau | 1.000 peserta | 45% tercapai |
Reduksi Emisi | 15% | 8% tercapai |
Menurut berita terbaru, 120 pabrik telah menerima sertifikasi hijau. Angka ini ditargetkan meningkat menjadi 300 unit pada akhir tahun.
Program unggulan lainnya adalah konversi energi di sentra produksi. Teknologi ramah lingkungan mulai banyak diadopsi untuk menekan biaya operasional.
Dukungan untuk STTT Bandung dan Industri Nasional
Pendidikan vokasi menjadi tulang punggung pengembangan SDM di sektor manufaktur. STTT Bandung terus berinovasi untuk menjawab tantangan global dengan kurikulum berbasis kebutuhan industri. Tahun 2026, anggaran pendidikan vokasi dipastikan naik 25% untuk memperkuat fasilitas dan program.
Peningkatan Anggaran Pendidikan Vokasi
Kenaikan anggaran akan digunakan untuk:
- Pembangunan 3 laboratorium baru dengan teknologi mutakhir
- Pengadaan mesin digital printing terkini
- Program beasiswa prestasi dari Kemenperin
Seperti diungkapkan Rektor STTT Bandung:
“Dana tambahan ini memungkinkan kami menyediakan fasilitas setara standar internasional.”
Jawaban atas Kebutuhan Industri
Kerja sama dengan Universitas Stuttgart menghasilkan program dual education system. Mahasiswa mendapat pengalaman langsung di pabrik mitra selama 6 bulan. Selain itu, riset bersama fokus pada pengembangan material ramah lingkungan.
Program unggulan lainnya:
- Pelatihan kewirausahaan untuk lulusan
- Sertifikasi kompetensi bidang digital printing
- Magang bersubsidi di perusahaan tekstil besar
Menurut berita terbaru, 85% peserta program langsung terserap pasar kerja. Angka ini menunjukkan relevansi pendidikan dengan dunia usaha.
Kesimpulan
Perjalanan revitalisasi sektor manufaktur membutuhkan langkah terpadu. Sinergi antara pemerintah, pelaku usaha, dan akademisi menjadi kunci utama. Kolaborasi ini akan mempercepat transformasi menuju praktik berkelanjutan.
Beberapa strategi penting telah dirancang. Mulai dari penguatan SDM hingga kebijakan protektif yang seimbang. Jika diimplementasikan dengan baik, pertumbuhan 5% tahunan bisa tercapai pada 2030.
Dukungan semua pihak sangat dibutuhkan. Mulai dari peningkatan kualitas produk hingga perluasan pasar ekspor. Diversifikasi pasar menjadi salah satu solusi jangka panjang.
Visi Indonesia sebagai produsen ramah lingkungan perlu didukung. Dengan komitmen bersama, target menjadi pemain global yang kompetitif semakin nyata. Mari wujudkan masa depan yang lebih cerah untuk sektor ini.